ABSTRAK
Pernikahan merupakan suatu perbuatan
hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang syah menurut hukum.
Diantara hukum islam yang selalu menjadi persoalan pelik ditengah masyarakat
adalah tentang keberadaan wali. Bagaimana seandainya seorang wali, yaitu wali
nashab berhalangan untuk
menikahkan seorang wanita yang di
bawah perwaliannya, baik berhalangan itu dalam bentuk tidak dapat menjalankan
tugasnya disebabkan oleh keadaan fisiknya yang tidak memungkinkan, seperti
masih kecil (Shaghir), sakit atau gila, ataupun disebabkan keengganannya
(Adhal) untuk menjalankan tugas sebagai wali. Dilain sisi, undang-undang
perkawinan tidak memberikan ketentuan jelas terhadap masalah ini. Bahkan pasal
6 ayat (2) undang -undang
ini mengisyaratkan ketentuan izin
wali tidak lebih hanya diperlukan bagi perkawinan oleh wanita yang belum
mencapai usia dua puluh satu (21) tahun. Akan tetapi undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang menjadi barometer pelaksanaan perkawinan di
Indonesia, khususnya umat Islam di Indonesia, melalui dalam pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa hukum Islam sebagai rujukan syah atau tidaknya suatu
pernikahan. Mulai yang membolehkan perempuan menjadi wali nikah, peralihan hak
perwalian di sebabkan tidak hadirnya wali disaat pernikahan dilaksanakan baik
karena ghaib atau adhol, sampai kepada boleh atau tidak pernikahan
dilangsungkan tanpa adanya wali
nikah. Pembahasan tentang perkawinan
dengan menggunakan wali hakim tidak
dijumpai sekarang mendetail dalam
undang-undang, maka berdasarkan pasal 2 ayat (1) undang-undang perkawinan yang
menyatakan bahwa kedudukan wali atau wali hakim dirujuk kepada hukum Islam. Maka
hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia adalah kompilasi Hukum
Islam (KHI). Karena KHI banyak mengacu pada Al-Quran dan Hadits serta kitab-kitab
Fiqih dari sebahagian mazhab yang berkembang dalam khazana Islam, terutama
mazhab syafi’i yang merupakan mahzab mayoritas yang diyakini oleh umat Islam di
Indonesia. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha
menggambarkan fakta dan data-data bagaimana seorang perempuan yang ingin
menikah dengan menggunakan wali hakim dengan mengumpulkan data sekunder, data
sekunder didapat dari literatur-literatur kepustakaan. Dari data yang diperoleh
dari lapangan sejak Januari 2006 sampai dengan bulan Februari 2007, menujukan
bahwa dikota Medan setiap bulannya selalu ada perkawinan yang dilaksanakan
dengan berwalikan hakim, disebabkan oleh faktor-faktor ya
ng tersebut diatas. Hasil penelitian
menunjukan bahwa, wali hakim adalah wali yang diangkat oleh pemerintah atau
wali yang ditunjuk oleh putusan pengadilan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, mempersyaratkan
adanya wali secara mutlak dalam suatu perkawinan dan berfungsi sebagai
pelaksanaan ijab akad nikah dalam perkawinan, pada dasarnya wali hakim berfungsi
sebagai pengganti, bukan sebagai wakil dari wali nashab, dalam keadaan hal-hal
yang menyebabkan berpindahnya hak perwalian ketangan wali hakim yang oleh hukum
dan peraturan perundang-undangan membenarkan wali hakim sebagai wali nikah.
Selanjutnya disarankan, kepada masyarakat muslim agar tidak terpengaruh dengan
pengakuan seseorang yang menyatakan dirinya wali hakim,
kepada pasangan yang ingin
melangsungkan pernikahan agar jangan memilih jalan pintas dengan cara memilih
berwali hakim padahal wali nashab masih ada, kepada wali nashab agar tidak
mempersulit peminangan terhadap putrinya dengan pertimbangan pribadi atau tidak
sekutu, karena sikap yang demikian akan digunakan oleh anak perempuannya untuk
menikah dengan berwali hakim.
Link Download 3: Klik
No comments:
Post a Comment